Birrul walidaini,
بِرُّ الْوَالِدَيْنِ ya, “tetembungan” / kata ini bukan asing
ditelinga kita bukan?. Sering kita dengar saat seorang anak atau ahli waris “nylameti” kepada orang tua
yang sudah meninggal.
Birrul walidaini seakan mengandung hipnotis yang
bermuatan doktrin, karena dikaitkan dengan acara ritual tahlil selama 3 hari
(kadang masih ada yang 7 hari) setelah meninggalnya seseorang, kemudian hari ke
40, 100, nahun (satu tahun), dua tahun, juga nyewu (1000 hari), termasuk di
dalamnya “nyadran” pada saat menjelang puasa Romadhon.
Termasuk doktrin , karena barang siapa tidak
melakukannya atau tidak mengikuti masyarakat pada umunya maka akan dicap
sebagai anak yang tidak berbakti kepada
orang tua, tidak birul walidaini. Keyakinan yang demikian dipegang teguh oleh
kalangan masyarakat yang kolot/ortodok , sempit wawasan serta ilmu pengetahuan
agamanya serta tertutup pemikirannya untuk menerima perubahan kearah kemajuan.
Namun benarkah demikian birrul walidaini
menurut aslinya ajaran Islam ?
Rekan2 , sebagai umat muslim tentunya dituntut untuk
berpikir, bersikap dan bertindak mengikuti tuntunan Rosulillahi SAW. Karena
memang demikianlah perintah “ingkang akaryo jagad” dalam Kitab Suci al-Quran
Surah Ali Imron (3); 30 sebagaimana postingan saya di atas , artinya
“ Katakanlah (hai Muhammad) , jika kalian
cinta pada Alloh maka ikutilah aku, (dengan begitu) maka Alloh akan mencintai
kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian, dan Alloh Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”
Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa jika kita
menginginkan mendapat kasih sayang /rohmat Alloh maka caranya adalah dengan
mengikuti tuntunan dan petunjuk Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Alloh untuk
kita ambil suri tauladannya.
Ayat tersebut mengandung pengertian bahwa kalau seorang
hamba dalam hidupnya , pandangan, sikap dan amalannya mengikuti tuntunan
rosulillahi SAW maka dengan sendirinya dosa2nya akan diampuni oleh Alloh.
Termasuk usaha untuk berbuat baik kepada kedua orang
tua (birrul walidaini) sebagai balas budi akan kebaikan orang tua semasa si anak
masih kecil, maka hendaknya niyat yang sangat mulia tersebut juga mengikuti
tuntunan rosulullohi SAW yang benar-benar sesuai dengan sumber data dan fakta
yang otentik menurut kitab al-Quran dan Hadits, dengan dalil di atas
kertas putih.
Sudah jelas bahwa doa kita kepada kedua orang tua
adalah “ robighfir li wa li walidaya warham huma kama robbayani soghiro”,
namun bagaimana amalan pendukung lainnya (cak-cakane)?
Apakah ada dalilnya bahwa jika seseorang anak melakukan
suatu amalan kemudian orang tuanya mendapatkan sesuatu ? (dengan catatan : syaratnya
ada bukti dalil dari ayat berapa atau hadits apa?).
Baik, mari kita lihat dalil sebagai berikut,
(Hadist Abu Dawud , silahkan bisa dibeli di toko kitab atau pinjam untuk
difotocopy).
“Barang siapa membaca al-Quran dan
mengamalkan dengan apa2 yang di dalamnya, maka kedua orang tuanya diberi
mahkota (kuluk) yang bersinar pada hari kiyamat, yang mana sinarnya lebih indah
daripada terang sinarnya matahari di rumah dunia, lalu bagaimana persangkaan
kalian terhadap orang yang mengamalkan sendiri ?”.
Kenapa orang tuanya diberi mahkota ?
Karena orang tua lah yang mendidik anaknya mempelajari
agama yang benar dengan cara menuntun bacaan al-Quran memahami makna dan
mengamalkannya, atau paling tidak ketika anaknya belajar dari orang lain, orang
tuanya mendukung, memberikan restunya, tidak menghalangi. Sehingga orang tuanya
ikut berjasa dalam pembentukan dasar aqidah anaknya sesuai syariat al-Quran dan
Sunah (Hadits).
Orang tua yang diberi mahkota tentu saja terangkat
derajatnya, tentu saja dengan syarat orang tuanya juga satu syariat / aqidah
dengan anaknya yaitu “mengimani” kitabilah wa sunati nabi SAW. Sama2 mengkaji ,
membaca quran dan mengamalkan isinya. Mengaji hanya dengan membaca saja meski
khatam beberapa kali kalau tidak mengerti maksudnya maka tidak akan dapat
mengamalkan perintah dan menjauhi larangan yang mestinya ditetapi.
Itulah cara birrul walidaini menurut tuntunan rosul
yang jelas benar dan cocok dengan dasar pedoman agama Islam yaitu Quran dan
Sunah/hadits dan berhasil jika diyakini
dan diamalkan.
Rekan2, lalu bagaimana sikap kita dengan ide birrul
walidaini dengan “cak-cakan” nya seperti yang disebut di awal tulisan ini? Bagaimana pula hukum amalan tersebut menurut
kacamata syariat agama bersumber kepada quran hadits?
Sejauh ini penulis belum mendapatkan sumber yang jelas serta
dapat dipertanggungjawabkan mengenai dasar dari al-Quran maupun Hadits tentang
amalan “nylameti” seperti di atas. Silahkan barangkali ada rekan yang mau
bertanya kepada ahlinya amalan tersebut.
Beberapa kalangan berpendapat bahwa yang namanya berdoa
itu kan baik toh yang dibaca kalimat dzikir, takbir (Allohu akbar), tasbih
(subhanalloh) , tahlil (laa ilaha illalloh) dsb. Namun hitungan 3/7 hari , 40,
100 dst , siapa yang menentukan aturan itu? Juga hitungan jumlah tahlil serta
urut2 an nya kalau memang betul2 tuntunan nabi pasti terdapat dalam Kitab Suci
al-Quran atau dalam Hadits Sohih.
Perlu diingat rekan2,
bahwa amalan ibadah yang dilakukan manusia sedangkan
rosul tidak mengajarkan maka itu tergolong bid’ah, sekalipun sudah membudaya
dan mengakar kuat di masyarakat menjadi semacam mitos, tradisi secara turun temurun.
Karena tuntunan ibadah untuk mendapatkan pahala,
meminta ampunan semua sudah diberikan petunjuk yang komplit, baku dan “ pakem “
oleh Alloh dalam al-Quran dan dicontohkan oleh Rosulullohi SAW.
Orang berbuat bid’ah atau mengada-ada kan amalan yang tidak
dicontohkan oleh nabi maka akan mengakibatkan amalan orang itu tidak akan
diterima oleh Alloh SWT.
Pada prinsipnya kita tetap berusaha menjaga diri dan
keluarga dari api neraka sebagaimana yang diamanahkan dalam Quran Surah
at-Tahrim ;6, namun kita juga harus pandai-pandai menjaga diri agar selamat di
dunia dan akhirat. Cara seperti ini berarti kita terapkan habluminalloh
(hubungan dengan Alloh) juga hablumina nas (hubungan dengan sesame manusia).
Paling penting adalah menjaga niyat dan batin kita masing2.
Kalau terpaksa mendatangi acara ritual tersebut ya kita niyati saja untuk menjaga
kerukunan, ngemong masyarakat atau momong keluarga.
Dengan begitu mereka yang mengundang kita tetap senang,
merasa “praja” karena banyak tamu yg datang, sedangkan kita tetap terjaga. Mari
kita sayangi jaga amal kita jangan sampai rusak dan ditolak di akhirat gara2
kita ikut2an mengamalkan gerakan yang seperti ibadah namun sebenarnya di
dalamnya terkandung bid’ah bahkan syirik…..na’udzu billah min dzalik.
Semoga Alloh memberikan manfaat.
Tentang Penyebab Rusaknya Amalan Seseorang dan
akibatnya kelak di padang mahsyar diusir dari telaga Kautsar tidak
diperkenankan mendekat, artikel mengenai hal ini insyaAlloh akan ditulis pada
pertemuan yang akan datang.